PERAN KEBUDAYAAN DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT
karena atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya, penulisan makalah Ilmu Budaya Dasar mengenai Peran Kebudayaan
dalam Membentuk Kepribadian ini dapat diselesaikan pada waktunya. Makalah ini dibuat dengan maksud untuk membagi
wawasan sekaligus mengingatkan kembali masyarakat akan pentingnya
kebudayaan warisan para leluhur sebelumnya namun tetap harus menjaga persatuan
Republik Indonesia.
Telah selesainnya penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada :
1.
Ibu
Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T., sebagai Kepala Jurusan Teknik Industri
Universitas Gunadarma.
2.
Bapak Muhammad Burhan Amin selaku dosen mata
kuliah Ilmu Budaya Dasar.
3.
Kedua
orang tua tercinta serta adik dan kakak, yang telah memberikan bimbingan,
dukungan dan semangat, serta doa, sehingga saya mampu menyelesaikan penulisan makalah ini.
4.
Rekan-rekan
yang berada di lingkungan 1
ID06 yang membantu secara moril dan materil.
5.
Seluruh pihak yang telah sangat membantu yang tidak
dapat disebutkan satu-persatu.
Saya menyadari bahwa penulisan makalah ini mungkin masih jauh dari sempurna, untuk itu saya mohon maaf atas segala kesalahan serta
kekurangan. Saya mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kemajuan
kita bersama.
Akhir kata saya berharap semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membacanya.
Bekasi, November 2011
Lailatul Hudairiah
BAB I
PENDAHULUAN
I.A Latar Belakang
Indonesia,
suatu bentuk Negara Republik dengan keanekaragaman budaya dan bahasa yang
berkiblat kepada pedoman Bhineka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda
namun tetap satu jua. Namun didalam prakteknya yang sering dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari masih Nampak banyak sekali batasan-batasan yang seperti
penghalang antara individu ataupun kelompok yang satu dengan yang lainnya. Hal
ini tentu bisa menjadi boomerang bagi keutuhan Republik Indonesia.
Sebagai contoh kecil dapat dilihat
dari kebudayaan Suku Madura dan Suku Jawa yang sangat terlihat perbedaan
kepribadiannya.
Orang-orang Suku Madura pada umumnya adalah orang yang suka
merantau karena keadaan wilayahnya tidak baik untuk bertani. Orang Madura
senang berdagang dan dominan di pasar-pasar. Selain itu banyak yang menjadi
nelayan, buruh, pengumpul besi tua dan barang-barang rongsokan lainnya. Orang
suku Madura terkenal dengan gaya bicaranya yang blak-blakan serata sifatnya
yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin
dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti
menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji. Selain itu orang
Madura juga dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang mereka
melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji).
Harga diri juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki
sebuah peribahasa “Lebhi Bagus Pote
Tollang, atembang Pote Mata”. Artinya, lebih baik mati daripada malu.
Lain
halnya dengan Orang-orang suku Jawa, Dalam kesehariannya mereka lebih banyak
menggunakan Bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan
intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal
dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat
dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar
akan status sosialnya di masyarakat.
Orang
Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi yang menganut agama
Protestan dan Katolik juga banyak. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan.
Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa.
Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan
ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang
kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua
budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga
kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.
Di Indonesia, orang Jawa bisa
ditemukan dalam segala bidang, terutama sebagai Pegawai Negeri Sipil dan
Militer. Orang Jawa tidak menonjol dalam bidang Bisnis dan Industri. Orang Jawa
juga banyak yang bekerja sebagai buruh kasar dan tenaga kerja Indonesia sebagai
pembantu rumah tangga dan buruh di hutan-hutan di luar negeri yang mencapai
hampir 6 juta orang.
Masyarakat Jawa juga terkenal akan
pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi Amerika yang ternama,
Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga
kelompok: kaum santri, abangan dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah
penganut agama Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara
nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan.
Tetapi dewasa ini pendapat Geertz banyak ditentang karena ia mencampur golongan
sosial dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi sosial ini juga sulit
diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar, misalkan orang Indonesia lainnya
dan suku bangsa non-pribumi seperti orang keturunan Arab, Tionghoa, dan In
Orang Jawa terkenal dengan budaya
seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan
wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan
wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Tetapi pengaruh Islam dan Dunia Barat ada
pula
Orang Jawa memiliki stereotipe
sebagai sukubangsa yang sopan dan halus.[1] Tetapi mereka juga terkenal sebagai
sukubangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang. Sifat ini konon
berdasarkan watak orang Jawa yang ingin menjaga harmoni atau keserasian dan
menghindari konflik, karena itulah mereka cenderung untuk diam dan tidak
membantah apabila terjadi perbedaan pendapat.
Namun, tidak semua orang Jawa
memiliki sikap tertutup dan tidak mau berterus terang. Orang Jawa di daerah
timur bantaran Sungai Brantas — khususnya Kota Surabaya, Kota dan Kabupaten
Mojokerto, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Jombang, Kota dan
Kabupaten Pasuruan, Kota Batu, Kota dan Kabupaten Malang — memiliki watak
egaliter, lugas, terbuka, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi.
I.B TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut :
I.B.1 Mempelajari
lebih dalam perbedaan kebudayaan pada tiap suku di Indonesia
I.B.2 Mengasah
kemampuan penulisan ilmiah
I.B.3 Mengajak
masyarakat Indonesia untuk mengenali suku budaya lebih dalam
I.B.4 Munumbuhkan
rasa cinta terhadap budaya Indonesia
I.B.5 Meluruskan pandangan masyarakat akan pentingnya
menjaga persatuan Indonesia di tengah keanekaragaman suku dan budaya.
I.C SASARAN
Penulisan
makalah ini ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat yang mayoritas aktif
mengakses internet karena makalah ini saya unggah ke website blog saya http://lailatulhudairiah.blogspot.com
agar tidak ada alasan keterbatasan waktu dan tempat untuk mempelajari hal-hal
penting mengenai budaya Indonesia dan tidak lagi merasa bahwa perbedaan suku
dan budaya menjadi suatu batas, penghalang atau bahkan boomerang.
BAB II
ANALISIS SWOT
II.A STRENGTH
II.A.1 Kekayaan akan keanekaragamn budaya Indonesia.
II.A.2 Pondasi
yang kuat apabila terjadi hal buruk yang mengancam Indonesia.
II.A.3 Antara masyarakat satu dengan yang lainnya bisa
saling bertukar wawasan.
II.A.4 Masyarakat
selalu membuka hati dan memberi ruang pada keanekaragaman budaya.
II.B WEAKNESS
II.B.1 Arus globalisasi kian kuat menjamah
nilai-nilai kulturisasi.
II.B.2 Kelompok/perkumpulan suku membatasi pergaulan.
II.B.3 Penganut
kebudayaan suku yang terlalu kental cenderung mengabaikan persatuan Indonesia.
II.B.4 Perbedaan social budaya memicu adanya konflik
antar suku.
II.C OPPORTUNITY
II.C.1 Pernikahan
antar suku menyatukan perbedaan.
II.C.2 Mengajarkan
arti penting persatuan Indonesia menjadi pelajaran utama di setiap kalangan
masyarakat.
II.C.3 Gotong
royong sebagai ciri Negara Indonesia disetiap saat menyatukan perbedaan
II.C.4 Upacara adat yang menarik membangkitkan cinta
tanah air Indonesia.
II.D THREATS
II.D.1 Menguatnya
pengaruh globalisasi pada arah kecintaan masyarakat terhadap budaya Indonesia.
II.D.2 Garis batas perbedaan kebudayaan mengancam
keutuhan persatuan Indonesia.
II.D.3 Sejarah masing-masing suku cenderung
meninggikan sukunya sendiri.
II.D.4 Pengelompokkan
masyarakat dan penilaian miring tentang kebudayaan suku lain.
BAB
III
REKOMENDASI
III.A Kelompok/perkumpulan
suku membatasi pergaulan sangat meresahkan
III.B ditambah
lagi penganut kebudayaan suku yang terlalu kental cenderung mengabaikan
persatuan Indonesia.
III.C yang
perlu ditingkatkan adalah menekankan gotong royong sebagai ciri Negara
Indonesia disetiap saat menyatukan perbedaan
III.D Sehingga
pengelompokkan masyarakat dan penilaian miring tentang kebudayaan suku lain
dapat dinetralkan.
BAB
IV
REFERENSI
IV.1 Ainun, Emha
(2007). Folklore Madura. Madura:
Progress.
IV.2 Santosa, Iman Budhi (2010). Nasihat
Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Diva Press
IV.3 Mcenter (2007). Semua Tentang
Madura-Madura Indonesia Mandiri. From http://maduracenter.wordpress.com/2007/07/14/suku-madura/,
24 Oktober 2011
IV.4 Kazenov (2010). Suku Jawa. From
http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/10/suku-jawa/,
24 Oktober 2011.